Ketika kucoba merangkai kata untuk menjelaskan apa yang kualami, betapa sulitnya kurasakan. Bukan sekedar aku tak pandai bermanis kata, lebih dari itu aku tak sanggup mengingat apa yang sudah ku lalui. Meminjam istilah yang digunakan beberapa orang yang mengibaratkan cinta laksana perahu yang mencoba mencari pelabuhan terakhirnya, sama hal nya dengan yang kurasakan dikala itu. Ketika perahu kecil ini terombang ambing di lautan, betapa naif nya sang nakhoda terburu-buru melemparkan jangkarnya hanya karena melihat sebuah pelabuhan.
Aku mengira kau akan menjadi pelabuhan pertama dan terakhirku, menjadi orang yang mampu aku titipi rasa ini. Terlebih lagi ketika kau memberi harapan yang begitu besarnya kepadaku. Kau berkata bahwa kau juga merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan. Namun kau meminta perahu kecil yang kubawa untuk berlabuh dan menunggu hingga waktu yang tepat. Kau berkata tak ingin ada ikatan yang kau rasa akan mengganggumu dalam menggapai cita-cita mu. Ketika kau berkata ingin membahagiakan orangtua mu terlebih dahulu, aku menerima baik keputusan itu. Pada dasarnya aku juga memiliki cita-cita yang sama.
Ketika kau memberikan ku sebuah harapan dengan berucap bahwa Tuhan akan mempersatukan kita jika kita memang berjodoh, membuat perahu kecil ini mencoba bertahan meski terhempas oleh ombak. Begitu besarnya harapan yang kau beri, hingga setiap hari yang kulalui aku terus berharap penantian ini segera berakhir. Namun, betapa hati ini hancur ketika aku mengetahui, ternyata pelabuhan hatimu telah menjadi sandaran perahu cinta orang lain. Tak terkira betapa hancurnya hati ini, kau hancurkan dengan penghianatan, bukan diri ku yang kau hianati, tetapi hati ini dengan harapan yang kau berikan. Ku kira kau akan menjaga hati mu untuk ku, ternyata mengejar cita-cita dan ingin membahagiakan orang tua hanya kau jadikan alasan untuk menolakku, entah kau meragukan cinta ku, atau karena aku tak bisa berada di samping mu karena kita mengejar cita-cita di atas tanah yang berbeda.
Pada awalnya aku merasakan rasa sakit yang begitu dalamnya. Bukan kepadamu, bukan pula kepada nakhoda yang kau pilih perahunya untuk sandar di hati mu. Tetapi kepada diriku yang begitu naif nya, dan tidak pandai mengendalikan perahu cinta ini. Hingga akhirnya Keteguhan hatiku mulai terkumpul, rasa sakit yang kurasakan pun mulai memudar. Seperti yang selalu orang katakan, luka pun ada sembuhnya. Akan kubawa perahu ini mengarungi lautan bebas. Sebagai nakhoda, tak akan kubiarkan perahu ini berlabuh, sampai ku pastikan itu akan menjadi pelabuhan terakhir yang menjadi tempat ku menyandarkan perahu kecil yang disebut cinta ini.

titanium dive knife - The Art of Boring in the Tinted
BalasHapusby T titanium sunglasses Foulhane · 2019 — In a long tradition of playing microtouch trimmer blackjack, a nano titanium babyliss pro variation of the blackjack dei titanium exhaust wrap hand is made with a There are two titanium mens rings variants of the standard blackjack